Monday, March 12, 2007

Blog Indopahit

This morning, my wife Sapariah and I decided to create this Indopahit blog, after we had just finished our breakfast with ubi goreng and teh tubruk. This blog will only be maintained on the most minimum level until I have finished publishing my book From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

In Malay, Indopahit stands for "Indonesia yang pahit" (the bitter Indonesia). You could also refer this name as "Indonesia keturunan Majapahit" (Indonesia, the descendant of the Majapahit). Sapariah and I regularly mocked the usage of this ancient Javanese kingdom to build Indonesia's nationalism. It is a febble argument indeed. Majapahit is totally different from, and much smaller than, the Indonesia that its nationalists like to portray.

So let's wait for the book. This blog is dedicated to the ideas that back up this book.

4 comments:

Ini wartawan poenja blog. said...

Kek, youk mulai diluncurkan blog ini. Gini aja, blog ini masukkan ke dalam link kakek. Trus tulisan-tulisan tentang kritik, tulsian kritis dll tentang Indopahit dimasukkan dalam blog ini. Gimana?

Setra Yappi said...

Salam kenal,

Tulisan di bawah adalah sebagian dari perkenalan siapa saya.

Belajar di luar negeri: kesempatan bagi kaum muda Indonesia yang mampu “membeli” pendidikan dengan kualitas yang diidam-idamkan, baik dengan biaya sendiri ataupun beasiswa. Tetapi sayang, saat meninggalkan tanah air, bukanlah identitas Indonesia yang dibawa, melainkan budaya yang dianggap nyaman untuk diadopsi, yaitu trend yang banyak dipengaruhi oleh ukuran “coolness.” Pudarnya kebanggaan akan negara sendiri, perbedaan etnis, dan ambisi pribadi menjauhkan kaum intelektual muda dari nasionalisme.

Nasionalisme, kata yang hampir asing dari kacamata seorang mahasiswa luar negeri seperti saya. Semenjak kecil, kata “nasionalisme” hanyalah bagian dari bacaan di buku-buku pelajaran. Walaupun dijejali dengan ini selama bertahun-tahun di sekolah, tiada nilai kebangsaan membekas. Ingatan masa remaja banyak dipenuhi oleh bujukan orang tua akan “pentingnya” menemukan keamanan dalam arti literal atau finansial dengan keadaan Indonesia yang terlihat semakin memburuk setelah krisis moneter 1998. Jika keamanan ini tak ditemukan di Indonesia, berarti negeri orang lah yang menjadi solusi. Dengan pandangan seperti ini yang dipupuk saat pikiran seorang remaja dibentuk, yang timbul adalah kritik-kritik keras tentang Indonesia tanpa adanya usaha untuk menyelidiki seluk beluk problema negara sendiri. Lalu, kesempatan datang untuk saya bersekolah di luar negeri yang dibawa adalah “kartu identitas” di mana tercantum Indonesia hanya sebagai status kependudukan dan bahasa. Terlampau sombong, saya menjunjung tinggi idealisme yang terdapat di negara-negara tempat saya singgah sebagai pelajar seperti Amerika Serikat dan Australia. Kesempatan untuk mendapatkan kependudukan di luar negeri benar-benar diincar. Sebagai pelajar, pilihan jurusan pun dipengaruhi oleh prospek pekerjaan di negara yang bersangkutan. Sebagai pelajar yang ambisius, keinginan meraih sukses di negeri orang sangat kuat. Melihat teman yang bisa sukses di sana, munculah kekaguman; tetapi saat melihat teman yang pulang ke tanah air, dalam hati saya bertanya, “mau cari apa di tanah gersang dan korup ini?” Sayangnya, saya tidak sendirian.

ND said...

Mas Andreas,

Rasanya saya menemukan tempat yang pas untuk belajar menulis dari kedua blog yang Mas punya.
Saya link ya Mas, salam juga buat Norman dan Mbak Ari

Ini wartawan poenja blog. said...

Kek, blog yang ini kok sepi ya?Youk diupdate.......